MANUSIA,KEBEBASAN,DAN AGAMA
Sayid
ahmad al-kahfi
Yogyakarta,
04 Juni 2007
PENDAHULUAN
Manusia
terdiri dari bagian fisik yang disebut raga,serta bagian yang immateriil yang
disebut Ruh.Keduanya merupakan komposisi yang ideal dan sempurna yang telah
Tuhan ciptakan. Manusia dianugrahi potensi yang tidak dimiliki makhluk lainnya
yakni akal-fikiran,yang mampu membedakan antara manusia dengan bukan manusia.
Manusia bukan ciptaan yang merupakan hasil evolusi genetik yang di fikirkan
oleh Charles Darwin,namun manusia merupakan makhluk yang diciptakan tanpa harus
mengalami proses seperti itu.
Manusia
memiliki kebebasan sebagai hak yang melekat pada dirinya,kebebasan merupakan
wujud eksistensi manusia didunia. Kebebasan menurut para kaum Libertarian
dibagi menjadi dua yakni kebebasan privat dan publik. Sedangkan ahli dzikir
(baca:agamawan) menyebut bahwa kebebasan manusia didunia ialah terbatas,dan
dibatasi oleh aturan Tuhan.Meskipun begitu, yang jelas seluruh pakar sepakat
bahwa manusia memiliki kebebasan dalam hidupnya.
Agama
sebagai sebuah aturan Tuhan, yang terwujudkan dalam bentuk kitab suci,dan pemeluknya
dinamakan umat beragama. Manusia seyogyanya merupakan umat beragama,lain halnya
ketika dirinya memutuskan untuk tidak beragama. Sesungguhnya dalam hal
ini,memang akan muncul sesnsitifitas pada diri manusi terkait agama yang
dianutnya,meskipun penulis menganggap bahwa manusia yang beragama atau
ber-Tuhan merupakan manusia yang utuh. Manusia yang sesuai fitrah. Perkara akan
terjadi pluralitas beragama,sebenarnya merupakan konsekuensi logis saja
PEMBAHASAN
Manusia
merupakan mahluk unik yang diciptakan didunia.Sudah cukup banyak para ahli yang
melakukan penelitian terkait manusia dari proses perkembangannya,pola
interaksi,hingga pada tataran manusia dan hubungannya dengan Tuhan.
Para
sejarawan,yang berkutat pada suatu problematika religiusitas yang bila
dihubungkan dengan manusia sebagai objek,memang cukup menarik untuk
diamati.Para filsuf yang tak ketingggalan dalam melakukan perumusan dasar
berdasarkan paradigma berfikir mereka,tentang manusia dan Tuhan,serta hubungan
antara keduanya.Sementara para agamawan yang juga sempat membuat suatu
perumusan dasar yang diambil berdasarkan kitab sucinya masing-masing mencoba
memaparkan hakekat manusia menurut Tuhan,bukan hanya menurut pandangan rasio
semata. Disini Tuhan turut berperan dalam mendefinisikan manusia.Dan definisi
itu merupakan sebuah definisi yang pasti,meskipun dengan beberapa tafsiran yang
merupakan bentuk intrepretasi seseorang semata.
Agama
menurut sebagian pemikir merupakan sebuah kondisi yang timbul akibat interaksi
masyarakat yang terjadi,sementara menurut Geertz agama itu tidak terlepas
dengan sistem budaya setempat,sehingga pengaruh agama sangat kental pada
struktur masyarakat yang terjadi. Sementara Marx dengan mudahnya mengatakan
bahwa agama merupakan sebuah sistem yang mengekang daya kreatifitas
manusia,serta melakukan legalitas atas kedzaliman pada manusia didunia,seperti
yang dilakukan oleh kaum borjuis kepada proletariat pada masyarakat Eropa,pada
saat keemasan revolusi industri. Maka tak elak lagi,disaat agama merupakan
candu yang mesti dibasmi dalam kehidupan manusia.
Pandangan
ini,tidak seekstrim yang dikonstruksi oleh Nestzche terkait agama dan
Tuhan,yang telah dinafikan secara besar-besaran dari jiwanya,nyaris tak ada
tempat.
Pada
zaman sekarang,apa yang menjadi peran penting agama dalam kehidupan umat
manusia? Bagaimana seharusnya yang dilakukan manusia terhadap agama yang
merupakan sebuah sistem yang dipercaya mampu menjadi ‘partner’ atau aturan yang
berfungsi sebagai pengatur kehidupan
manusia?
Manusia
secara fitrah,mampu memperoleh apa yang diinginkannya melalui sebuah usaha atau
perilaku yang timbul dari nalurinya, melalui pola interaksi dengan
sesamanya,atau dunia lain yang berada diluar jangkauan akal.Manusia akan
senantiasa membutuhkan itu.Seperti ketika seseorang merasa sangat kehausan,maka
dia akan mencari sumber air yang mampu menghilangkan dahaga.Begitu pula
agama,yang berperan sangat penting dalam eksistensi manusia didunia.Meskipun
ada beberapa ahli fikir,yang sedikit menafikan hal itu.
Seperti
yang dikemukakan oleh E.B Tylor terkait definisi agama sebagai sebuah keyakinan
terhadap sesuatu yang spiritual.Sehingga menurutnya esensi dari agama
baik,agama kuno maupun modern ialah kepercayaan terhadapa sesuatu yang hidup
dan punya kekuatan yang ada dibalik sesuatu.Menurutnya animisme merupakan bentuk
kepercayaan tertua didunia. Agama itu tidak terlepas dengan unsur
mistisisme,dan magis bagi agam purba yang berkembang ratusan tahun silam.
Dan
juga menurut Sigmund Freud,seorang psikolog-filsuf atheis,menganggap agama
merupakan sebuah bentuk takhayul,namun menarik. Dia memang seorang atheis tulen
semasa hidup hingga matinya. Sesuatu yang transedental dianggapnya merupakan
omong kosong yang tak berguna. Lebih ekstrim lagi dia menganggap bahwa agama
akan menjadi penyakit syaraf yang mengganggu manusia sedunia,senada dengan
Marx,bahwa agama adalah candu sosial.
Emil
Durkheim,seorang sosiolog barat yang mencoba meneliti esensi agama sebagai
sebuah sistem yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia,bahkan merupakan
bagian integral dari kebudayaan (culture) masyarakat setempat. Menurutnya agama
merupakan sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu
dikaitkan dengan ’Yang Sakral’,yaitu sesuatu yang terpisah dan
terlarang.Dia memang lebih sopan dalam mendefinisikan agama, bersifat positif, serta
tidak terburu-buru dalam menjustifikasi kegagalan peran agama dalam kehidupan
manusia.
Agama
merupakan kompleksitas sistem yang berdiri diatas dokrin dan kepercayaan.Ajaran
yang berwatak spiritual, supernatural, transeden, mistis, serta jauh dalam
pembuktian klaim teoritis. Meskipun disisi lain,ada agama atau sistem
kepercayaan tertentu yang mengalami kemajuan pesat dari segi kuantitatif,karena
dinilai cukup logis dan ilmiah. Tapi disisi lain ada beberapa agama yang
’terpaksa’ berevolusi atau gugur dengan sendirinya karena tidak mampu menjawab
realitas sosial kontemporer manusia modern.
Dari
sini muncul sebuah study kritis perihal urgensi agama sebagai tata nilai
kehidupan dengan manusia sebagai objek/pelaku kehidupan.
Manusia sebagai mahluk monodualistik
menurut Prof.Dr.Notonegoro. Manusia sebagai mahluk hidup yang terdiri atas dua
bagian yang mendasar yakni jasmaniah serta ruhiyah yang menyatu dalam satu
kesatuan yang utuh. Semuanya saling membutuhkan,saling bersinergi, guna menghasilkan
harmonisasi yang seimbang diantara keduanya. Dikarenakan mereka secara kodrati
memang senantiasa menyatu,sebagai wujud eksisitensi manusia didunia.Apabila
salah satunya pergi atau mengalami kematian,maka yang terjadi ialah menusia
yang tidak utuh kembali atau disebut mayat.
Manusia sebagai makhluk dwitunggal, merupakan
sebuah pernyataan Prof.Dr.Driyarkara, manusia terdiri atas roh dan materi, memang
senada dengan Notonegoro, disisi lain masih menurut beliau bahwa, manusia
menurut kodratnya merupakan makhluk pribadi (persona), yang memandang yang
lain, ”bukan pribadi”, sehingga disana akan muncul sebuah interaksi antara
”Aku-Engkau”, dan bersifat percaya saling mempercayai. Keluhuran manusia
sebagai pribadi adalah terletak pada kedaulatan atas diri sendiri (Driyarkara
tentang Manusia:33).
Sementara dengan kebebasan manusia yang
sampai saat ini masih cukup banyak diperdebatkan oleh para ahli fikir bahkan
ahli dzikir (baca:agamawan yang cukup moderat) pun mulai mempertanyakan
kembali,hakekat kebebasan pada diri manusia, bahwa sejauh mana sebenarnya
manusia memiliki kebebasan/kemerdekaan? Apa makna kebebasan/kemerdekaan,itu
sesungguhnya?
Kebebasan merupakan sebuah tindakan atau
perbuatan yang muncul atau bermula dari kehendak untuk melakukan. Sementara menurut
Prof.Dr Driyarkara,seorang filsuf Indonesia kontemporer,menulis dalam bukunya
bahwa kemerdekaaan atau kebebasan merupakan kekuasaan untuk menentukan diri
sendiri untuk berbuat atau tidak berbuat (Driyarkara tentang Manusia:60).
Kebebasan merupakan hak individu untuk
menggunakannya atau tidak, tidak ada seorang pun yang mampu untuk memaksa
seseorang terkait kebebasan yang dimilikinya. Manusia memiliki sebuah kemauan
serta dorongan untuk melakukan,sehingga kebebasan muncul dari kedua hal itu.
Sebagai contoh riil, ketika seorang yang bertumbuh gemuk,dia memiliki kemauan
untuk kurus,maka akan tercipta dorongan untuk mengurangi jatah makannya sehari
itu.Disanalah muncul kebebasan dia untuk melakukan hal itu.Atau ketika ada
pasangan hidup memiliki keinginan untuk memiliki anak lebih dari dua,maka
disana akan muncul dorongan untuk berusaha,dan disana pastilah muncul kebebasan
diantara keduanya untuk meiliki anak dengan jumklah tiga atau enam
sekalipun,asalkan akan muncul sebelum,nya kesepakantan diantara keduanya.
Kebebasan merupakan hal mendasar yang
dimiliki manusia selaku insan berakal. Suatu kebebasan akan berbanding lurus
dengan tanggung jawab yang akan diterima oleh dirinya secara pribadi maupun
kelompok. Maka,sebenarnya manusia dituntut untuk berfikir sebelum
bertindak,sebagai usaha untuk meminimalisir resiko yang terjadi akibat salah
dalam menggunakan hak kebebasan yang dia miliki. Sesungguhnya,cukup banyak para
filsuf modern maupun kontemporer dalam mendiskusikan masalha kebebasan pada
diri manusia.Keseluruhannya memiliki paradigma berfikir yang berbeda. Perbedaan
yang mendasar akan tercipta manakala definisi kebebasan versi Liberaterianisme
dengan kebebasan versi Marxisme-Leninisme,namun dikala kedua aliran tersebut
coba dibenturkan dengan para ahli dzikir (baca:agamawan) maka akan lebih nampak
jelas perbedaan yang sangat signifikan.
Kaum Liberaterian, lebih membagi kebebasan
privasi dengan publik,yang diantara keduanya mestilah jelas terdefinisi,tidak
bias. Sementara kaum Marxisme-Leninisme,lebih memandang kebebasan dari sudut
pembagian kelas antara kaum borjuis dengan kaum proletariat,menurut mereka
sudah saatnya proletariat memiliki kebebasan yang sama dengan kaum borjuis
sehingga kelak, akan memunculkan kondisi yang tanpa kelas. Lain halnya dengan
para ahli dzikir yang memandang kebebasan berdasarkan definisi kitab suci yang
mereka miliki.Umumnya mereka memandang bahwasanya tidak ada kebebasan penuh
manusia didunia ini,karena manusia hidup didunia senantiasa terikat oleh aturan
Tuhan yang absolut,yang terwujudkan pada lembaga agama,sebagai badan eksekutif
serta yudikatif atas aturan Tuhan.
Pada abad pertengahan,nampak jelas aturan
Tuhan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan tata kehidupan manusia
didunia.Terlihat jelas dominasi Gereja sebagai institusi resmi dan terpusat
agamawan Nasrani,memiliki ototritas penuh atas politik pemerintahan kala itu.
Sedangkan Islam memiliki sistem Khilafah Islamiyah, sebagai sebuah bentuk
pemerintahan yang melaksanakan syariat ilahi, dan disana tidak ada lembaga
legislatif, dikarenakan kedaulatan ada pada kuasa Tuhan.Memang muncul perbedaan
yang mendasar diantara keduanya,namun disana sebenarnya dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa aturan kala itu benar-benar dijadikan konstitusi pokok
asisitem politik oleh para penguasa,sebelum akhirnya mulai terjadi
pemberontakan untuk mengganti sistem aturan Tuhan yang dinilai terlalu
teokratis dengan bentuk yang lebih demokrasi,dengan kebebasan sebagai bagaian
yang tidak terpisahkan dalam hal ini.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki
kesadaran serta fitrah untuk ber-Tuhan serta beragama,sebenarnya secara sadar
pula dia menganggap bahwa kebebasan penuh pada dirinya telah dikorbankan
setengahnya,dikarenakan turan Tuhan yang membatasi hal itu.Dirinya pastilah merasa
bahwa segala perilaku,tindakannya selam didunia akan senantiasa diawasi oleh
Tuhan,dan disanalah sesungguhnya memunculkan kesadaran bahwa kebebasan penuh
merupakan sesuataui yang mustahil dimiliki manusia saat ini.
Kondisi seperti itu sebenarnya merupakan
sesuatu yang logis. Manusia akan lebih menyadari bahwa akan muncul akibat atas
kebebasan yang kelak dia coba gunakan,seperti: sebenarnya manusia memiliki
kebebasan untuk bunuh diri,tapi disatu sisi resiko atau balasan apa yang kelak
dia akan terima atas perbuatannya itu. Maka disana kan terbersit sebuah kondisi
mulai mengenal alam akherat. Kebebasan menusia sesungguhnya akan berimplikasi
pada kehidupannya dialam akherat,itulah prinsip manusia beragama.
Peran agama sangatlah penting dalam
tindakan dan perilaku manusia didunia.Tidak lain dan tidak bukan,secara
langsung agama akan mempengaruhi manusia dalam setiap langkah dan ucapnya.
Kebebasan disini menjadi sesuatu yang tidak terlalu banyak dituntut dikarenakan
manusia memiliki sebuiah keyakinan yang mendasar bahwa hdiup ini tidak kekal.
Manusia modern sebeanrnya mulai membutuhkan peran agama kembali sebagai seuatu
yang penting untuk dimiliki.Meskipun diantara manusia yang lainnya tidak
sedikit yang melarikan diri dari pengaruh agama,bahkan harus rela keluar dari
agama hanya karena menacari segengam kebebasan semu yang hendak dia miliki.
Pada dirinya akan merasa bahwa setelah
lepas maka,kebebasan itu akan diperoleh lebih banyak dan tidak terlalu
disibuikkan dengan problematika agama atau aturan-aturabn ortodoksi
lainnya,yang bersifat absolut. Disini sebenarnya,memunculkan sebuah pertanyaan
bahwa benarkan dirinya seorang manusia yang utuh?Karena penulis disini sepakat
bahwa sesungguhnya manusia memiliki fitrah untuk beragama atau sekalipun dia
hanya memiliki kepercayaan kepada ”Yang Sakral”(meminjam istilah
Durkeim) sekalipun. Banyak faktor memang disaat sebagian manusia mesti keluar
dari agama atau kita sebuat atheis,diantaranya:manusia merasa trauma dengan
kondisi psikologisnya atau merasa kecewa dengan keputusan Tuhan, manusia merasa
puas dengan hasil penemuannya yang merasa bahwa Tuhan tidak turut campur sama
sekali dalam hal ini,sehingga ia beranai untuk keluar dari komunitas orang yang
ber-Tuhan dan otomatis tak ber-agama. Masih banyak lagi.
Manusia, beserta kebebasannya dan agama
sebagai sebuah aturan dalam tata kehidupan manusia didunia sesungguhnya
merupakan komposisi yang utuh pada diri individu manusia. Gerak dan tindakan
manusia merupakan kebebasan,yang menjadi haknya namun disisi lain agama akan
berperan penting dalam memperngaruhi kebebasan manusia tersebut. Manusia yang
bijak ialah ketika kondisinya telah mampu untuk berfikir positif terhadap
urgensi agama dalam kehidupannya,bukan hanya menilai agama dari
prilaku-perilaku individu yang lain,namun ajaran-ajaran yang tertuang dalam
kitab suci merupakan bagian yang pokok dalam memahami esensi agama dan urgensi
agama bagi manusia.
Kehidupan manusia sesungguhnya akan bernilai
tinggi disaat manusia mampu memahami tentang hidup.Mencoba memahami tentang
hakekat manusia tidak hanya bertanya kepada ahli fikir semata,namun disamping
telah menunggu para ahli dzikir yang lebih mampu untuk memberikan pemahaman
terkait hakekat atau hikmah yang terkandung pada dirinya selaku manusia yang
berakal serta kehidupan yang menjadi bagian yang penting. Menjadikan potensi
yang dimiliki manusia berupa kebebasan menjadi sarana untuk menggapai sebuah
pemahaman positif tentang Tuhan, agamaNya, dan kehisupan akhir.
PENUTUP
Manusia memiliki kebebasan untuk
bertindak. Kebebasan merupakan hak privat manusia. Disisi lain manusia
merupaklan makhluk berfikir yang berangkat dari sebuah kesadaran akan
pentingnya diri mereka bagi dunia dan bagi diri mereka sendiri. Sehingga
merupakan sebuah keniscayaan apabila manusia tidak terlepas dengan unsur agama
sebagai bagian hidup,bukan hanya pelengkap atau ruang dimana manusia
sewaktu-waktu baru menyempatkan dirinya untuk mengadu pada Tuhan.
Referensi
v Dekonstruksi Kebenaran.Daniel L.Pals
v Driyarkara tentang
Manusia.Prof.Driyarkara.Yayasan Kanisius
v Manusia Pascamodern,Semesta,dan Tuhan. Y.B
Mangunwijaya. Kanisius